Resensi Buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki
Aku
dan Ketidak Percayaan Diriku
Judul Buku : I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki
Pengarang : Baek Se Hee (백 세 희)
Tahun terbit : 2018, cetakan kedua puluh
Penerbit : Haru Semesta Persada
Ketebalan Buku : 236 hlm
I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki berisi mengenai percakapan antara psikiater dengan pasien yang mengidap distimia. Hidup dengan rasa percaya diri yang rendah sungguh menyiksa penderitanya. Kekhawatiran dan rasa was-was yang berlebihan terhadap diri sendiri merupakan pasang surut gejala yang dialami. Buku ini juga menyuguhkan perjalanan hidup yang berarti dan sisi gelap dari
gejalanya. Psikiater yang tidak sempurna dan Pasien yang tidak sempurna bersama-sama mencari solusi dari Kesehatan mental yang terjadi.
Baek Se Hee lahir di Seoul, Korea Selatan pada tahun 1990. Dia selesai menempuh Pendidikan di suatu universitas di Korea Selatan dengan jurusan Sastra. Bekerjadi sebuah penerbit selama lima tahun dan mengidap distimia selama lebih dari 10tahun dengan berbagai pengobatan yang dilakukan. Atas pengalamannya tersebut Baek Se Hee menerbitkan buku berjudul I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki berdasarkan pengalamannya selama pengobatan. Kalian dapat mengenal lebih dekat melalui akun Instagram @sentido90.
Buku berjudul I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki dikemas secaramenarik dengan menampilkan percakapan antara Psikiater dan Pasien pengidap distimia dengan menggunakan bahasa yang ringan serta dapat diresapi oleh pembacanya. Pembaca disuguhi oleh berbagai macam problematika masalah yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari sehingga buku ini terasa dekat bagi para pembacanya. Motivasi tentang kepercayaan diri juga dibahas secara cukup mendalam namun ringan serta bagaimana sikap yang dapat diambil ketika kita memiliki rasa percaya diri yang rendah dan obsesi akan suatu hal. Penulis juga menekankan kata-kata yang mengandung makna mendalam sehingga para pembaca dapat lebih dapat meresapi dari maksud kalimat tersebut. Sering munculnya istilah psikologi seperti depresi, distimia, atau gangguan kepribadian historik menambah pengetahuan bagi para pembacanya. Buku ini dikemas dengan semudah mungkin dipahami dan semenarik mungkin yang dapat dilihat dari penggunaan kertas yang ada warna selain putih. Sehingga hal tersebut membuat para pembaca lebih bersemangat membaca halaman demi halaman.
Pada saat awal membaca buku ini cukup terkesan canggung percakapan yang terjadi antara Psikiater dengan Pasien distimia sehingga saya sebagai pembaca sedikit susah memahami situasi yang terjadi pada buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki awalnya. Kekurangan lain adalah ada beberapa kata yang typo secara penulisan sehingga sedikit mengganggu fokus dalam membaca. Kemudian ada beberapa jawaban dari pertanyaan pasien yang terlihat canggung dan kurang alami, entah itu terjadi karena perbedaan diksi bahasa atau memang seperti itu adanya.
I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki cocok dijadikan sebagai buku Self Improvement sebagai tempat istirahat pikiran yang penat. Penulisan yang ringan dan mudah dipahami menjadi kunci mengapa buku ini menjadi best seller buku Self Improvement di Korea Selatan maupun Indonesia.
Komentar